Jumat, 15 November 2013

Cerpen: SKETSA WAJAH



Rosyid sudah siap bergegas, setelah baju seragam, topi, dan dasinya dimasukan kedalam tas di toilet sekolah. Hanya celana seragam pendek sekolah berwarna merah masih dia pakai. Baju seragamnya di ganti dengan kaos lengan pendek berwarna putih yang sudah kumel.
Sejenak dia hirup udara setelah keluar dari toilet, untuk mendapatkan nafas kedamaian mengalirkan rasa semangat yang tak terbatas ke rongga-rongga dalam tubuh.
Dilorong-lorong sekolah, dia berjalan keluar menuju pintu gerbang, karena bel pulang sudah berbunyi 15 menit sebelumnya. Nampaknya, murid-murid yang lain sudah pada pergi, hanya segelintir guru yang sedang asyik mengobrol. Dan terlihat mereka memperhatikan Rosyid dan memberikan senyuman kepadanya yang mampu merekahkan hati Rosyid. Seakan memberikan bensin kesemangatan. Tidak lupa, Rosyid pun membalas senyumnya. Guru-guru sudah mengetahui dan mengerti akan Rosyid, setiap pulang sekolah, dia pasti mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek. Dan langsung pergi ke tempat Ayahnya bekerja, yang mana Ayahnya mengumpulkan barang-barang bekas di tempat penumpukan sampah pojok kota.
Dengan sepatu bertali yang sudah kotor dan bolong sedikit dibawahnya, Rosyid Nampak semangat untuk membantu Ayahnya bekerja. Ditengah tebing-tebing pabrik pembuatan ban karet, Rosyid menyusuri gang-gang kecil untuk memotong jalan menuju tempat penumpukan sampah. Setelah lama dia berjalan ditengah teriknya matahari, lalu dia melihat Ayahnya ditengah tumpukan sampah  yang sedang mengambil botol-botol bekas air minum yang dimasukannya ke gerobak. Rosyid pun langsung menghampiri Ayahnya dengan wajah yang sumringah.
Assalamualaikum, Ayah!sapa Rosyid sambil mengecup tangan Ayahnya yang kotor dan kasar.
Wa’alaikumsalam..” jawab Ayahnya.
Ayah, aku mau bantu Ayah ya, aku ingin ikut dengan Ayah.” Rosyid memohon kepada Ayahnya untuk diijinkan membantunya.
Namun, Ayahnya hanya tersenyum. Dengan keringat yang kian mencucur dari keningnya, mungkin senyumnya menandakan membolehkannya Rosyid untuk membantunya.
Rosyid memang anak yang baik, dia selalu membantu Ayahnya setelah dia pulang dari sekolah. Tidak seperti anak seusianya, yang sedang asyik-asyiknya bermain.
Di tengah tempat pembuangan sampah, aroma bau yang kian menyengat tidak menghiraukan hidung mereka. Mungkin sudah terbiasa dengan bau itu. Sehingga bau yang tidak disukai setiap orang sudah menjadi aroma kewangian dalam kesehariannya yang kian melekat di tubuh. Tidak peduli bau sampah, kotor, atau pun lalat-lalat yang terus setia menemaninya bekerja, menempel di jari-jari kakinya. Yang terpenting mereka masih tetap mendapatkan rizki yang halal.
Sembari memulung sampah Rosyid sangat ceria dengan wajah sumringah menceritakan kegiatannya disekolah.
Satu jam setengah setelah terus-terusan menajamkan mata di atas tumpukan sampah untuk mencari botol bekas, Ayah Rosyid mengajaknya untuk istirahat dahulu.
Dibawah pohon kalpataru mereka berteduh, menyenderkan tubuh ke pohon besar yang banyak dipercayai oleh banyak orang bahwa pohon kalpataru akan mewujudkan apapun yang diinginkan. Tapi mereka tidak mempercayainya, selain hanya kepada Tuhan-lah mereka percaya. Saat itu tidak lupa Rosyid memberikan air dalam botol yang disimpan dalam tasnya.
Sambil merehatkan tubuh, Rosyid mengambil buku dan pensil yang sudah pendek dari tasnya. Dia lukis gambar-gambar yang ada disekelilingnya. Sambil mengobrol dengan Ayahnya yang terus menerus mengipas badannya dengan topi yang sudah rombeng dan lusuh, sesekali menghapus keringat di keningnya dengan baju lengan kanan.
Ayah, kenapa aku selalu dikucilkan sama teman-teman sekelas? Padahal kita sama-sama makan nasi, sama-sama tercipta dari sari pati tanah, tapi kenapa mereka memandangku dengan sebelah mata?
Dan kenapa mereka selalu berkata kalau aku ini bodoh! Ayah, aku bodoh?” Rosyid terus menggerutu tanpa berhenti, karena terbawa emosi dan kesal mengingat kejadiannya di kelas
Nak, kamu itu pintar. Kata siapa kamu bodoh? Kamu anak Ayah paling hebat sedunia,” jawab Ayahnya dengan pandangan mata bak sinar bulan yang tertuju kedepan mata Rosyid.
Rosyid tersenyum dan menganggukan kepalanya dan terus saja menggambar dengan asyiknya. Tiba-tiba Ayahnya mengajak Rosyid untuk pulang. Saat Ayahnya beranjak berdiri, Rosyid menghentikannya dan memperlihatkan gambar yang di lukisnya. Terlihat gambar rumput-rumput, pohon besar yang dibawahnya ada seekor kucing yang sedang tidur. Ayahnya tersenyum sembari mengusap kepala Rosyid dan membereskan gerobaknya.
Lalu, Rosid bertanya “gimana Ayah, bagus tidak gambar buatanku?”
Bagus nak, kau memang anak Ayah yang jago menggambar. Ayah doakan ya, semoga kamu menjadi seorang pelukis yang terkenal,” jawab Ayahnya sambil menepak-nepak bahu rosyid.
Oya? dikasih nilainya berapa yah? Hehe” tanya Rosyid dengan riang yang kekeh ingin dikasih nilai oleh Ayahnya.
Seratus untuk kamu,ucapnya sambil tersenyum dan mendorong gerobaknya.
Saat itu hati Rosyid bahagia, karena dikasih nilai 100 oleh Ayahnya. Bahagianya bagai dihujani mutiara diatas punggung. Bibir bak bulan sabitnya merekah membentuk senyum. Mereka pun pergi.
Beberapa meter sebelum sampai di rumah, diluar rumah kecilnya tercium aroma sedap memanggil perut rosyid yang kebetulan sangat lapar. Dari depan jendela, Rosyid menengok sambil melepaskan sepatunya.
“wah, singkong goreng!” teriak Rosyid dengan suara yang lantang dan matanya membelalak  tertuju ke arah singkong goreng.
“iya nih, ibu siapkan untuk kalian.” Ucap Ibunya sambil menggoreng singkong.
Kemudian Ayahnya datang menyusul dan langsung duduk di kursi meja makan.
“masak apa bu?” tanya Ayahnya
“masak singkong, tadi ada tetangga yang ngasih ke Ibu.” Jawab Ibunya sambil membawakan sepiring singkong dan segelas teh hangat.
Dengan senangnya mereka makan goreng singkong bersama, kehangat pun menjelma di rumah mereka.
Ketika matahari tiba di ufuk timur, Rosyid langsung bergegas ke sekolah, tanpa sepotong roti dan segelas susu atau coklat hangat seperti anak-anak para pejabat yang selalu setiap saat menyantapi sarapannya dengan nikmat. Rosyid langsung berangkat-berlari dengan penuh semangat.
Rosyid duduk dengan Zidan temannya yang baik. Lima menit setelah mata pelajaran terakhir selesai, Rosyid dipanggil oleh Ibu gurunya untuk keruangan guru.
“nak, bagaimana dengan orangtuamu sekarang?” Tanya Ibu guru, “surat yang kemarin ibu kasihkan ke kamu sudah disampaikan ke orangtuamu?”
Namun Rosyid hanya terdiam dan merunduk tanpa kata. Karena surat yang dikasihnya kemarin, dia buang ke tong sampah. Dia pikir, kalau pun surat itu dikasihkannya kepada orang tua, mereka pasti akan sedih-melihat Rosyid. Surat yang berisi perhatian untuk cepat segera membereskan masalah tunggakannya.
Rosyid bersedih hati, namun dia tetap semangat untuk berjuang ditengah kepedihan. Dan terus berusaha menggubah hatinya dengan semangat yang tak ada batasnya.
Setelah itu, rosyid langsung pulang dengan laju gerak perlahan, dan seperti biasa, setiap pulang sekolah Rosyid pergi dan berlari menuju tempat Ayahnya bekerja.
Rosyid mencoba menghilangkan pikiran yang dikacaukan dengan hutang, dan menahan air matanya yang sempat keluar ingin mengalir diatas pipinya. Lalu, dia berlari kencang dengan wajahnya yang penuh kesemangatan tidak menandakan kesedihan hatinya. Saat ditengah perjalanan, ada sekerumunan orang yang berkumpul ditengah jalan. Rosyid pun menghampiri, dengan hati penasaran. Saat dia di depan orang yang berkerumun itu, terlihat sesosok bapak-bapak yang terkapar dengan topinya yang sudah terhempas dipenuhi darah berceceran. Rosyid langsung membalikkan wajah orang itu, karena dia merasa kasihan. Dan ternyata bapak-bapak itu adalah Ayahnya Rosyid. Hatinya tiba-tiba luluh, tangan dan kakinya lemas. Melihat ayahnya yang terkapar digelumuti darah berceceran—Rosyid berteriak histeris.
Setelah dibawa ke rumah sakit, nyawa Ayahnya sudah tidak terselamatkan lagi, dia tertabrak mobil dan langsung meninggal. Lalu dikuburkannya di pemakaman kota terdekat.
Kini, dirumah hanya bertiga—Rosyid, Ibu, dan adik kecilnya Rahma.
Semenjak Rosyid kehilangan sosok Ayahnya, dia sering melamun dan menangis sendiri.
“nak, sudahlah. Jangan seperti ini terus, nanti Ayah pun akan ikut sedih disana.” Dengan sabarnya Ibu selalu menenangkan hati Rosyid setiap saat.
Sebelum langit menyingsingkan fajarnya, Rosyid bersedih nampak di depan makam Ayahnya. Dalam hatinya bertekad dan bergumam “Ayah, aku percaya dengan semua perkataan Ayah saat itu, kata-katamu akan selalu diingat dalam sanubari. Kau percayakan aku bahwa aku akan menjadi pelukis yang terkenal dan akan membanggakan Ibu juga adik”.
Perlahan Rosyid melepaskan kesedihan dengan haru-birunya. Dia selalu mengempaskan kerinduannya dengan melukis disetiap pagi, disetiap menjemput senja, dan malam mulai tiba.
Semua lukisan-lukisannya dipajang di bilik-bilik kamar, dan setiap ada perlombaan melukis, dia selalu menjuarainya.
“aku anak lelaki satu-satunya dirumah, aku harus bisa seperti Ayahkuat,tegar,selalu berusaha. Aku harus menjadi anak yang hebat yang pernah dikatakan Ayah sebelumnya. Aku harus membanggakan semua” Rosyid menggumam ditengah lukisan yang dilukisnya.
Hari-hari pun terlewati, musim dengan setianya bergantian, tahun demi tahun silih berganti bak daun-daun kering yang tersapu oleh angin.
Rosyid kini menjadi pelukis yang terkenal, dia sering pulang-pergi ke luar negeri untuk dimintai dia melukis disana. Lukisan terkenalnya adalah lukisan yang menggambarkan sketsa seorang Ayah, anak lelaki kecil, dan gerobaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar