Rosyid sudah siap
bergegas, setelah baju seragam, topi, dan dasinya dimasukan kedalam tas di
toilet sekolah. Hanya celana seragam pendek sekolah berwarna merah masih dia
pakai. Baju seragamnya di
ganti dengan kaos lengan pendek berwarna putih yang sudah kumel.
Sejenak dia hirup udara
setelah keluar dari toilet, untuk mendapatkan nafas kedamaian mengalirkan rasa
semangat yang tak terbatas ke rongga-rongga dalam tubuh.
Dilorong-lorong
sekolah, dia berjalan keluar menuju pintu gerbang, karena bel pulang sudah
berbunyi 15 menit sebelumnya. Nampaknya, murid-murid yang lain sudah pada
pergi, hanya segelintir guru yang sedang asyik mengobrol. Dan terlihat mereka
memperhatikan Rosyid dan memberikan senyuman kepadanya yang mampu merekahkan
hati Rosyid. Seakan memberikan bensin kesemangatan. Tidak lupa, Rosyid pun
membalas senyumnya. Guru-guru sudah mengetahui dan mengerti akan Rosyid, setiap
pulang sekolah, dia pasti mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek.
Dan langsung pergi ke tempat Ayahnya bekerja, yang mana Ayahnya mengumpulkan
barang-barang bekas di tempat penumpukan sampah pojok kota.
Dengan sepatu bertali
yang sudah kotor dan bolong sedikit dibawahnya, Rosyid Nampak semangat untuk
membantu Ayahnya
bekerja. Ditengah tebing-tebing pabrik pembuatan ban karet, Rosyid menyusuri gang-gang
kecil untuk memotong jalan menuju tempat penumpukan sampah. Setelah lama dia
berjalan ditengah teriknya matahari,
lalu dia melihat Ayahnya
ditengah tumpukan sampah yang sedang mengambil botol-botol bekas air minum yang
dimasukannya ke gerobak. Rosyid pun langsung menghampiri Ayahnya dengan wajah yang sumringah.
“Assalamualaikum, Ayah!” sapa
Rosyid sambil mengecup tangan Ayahnya
yang kotor dan kasar.
“Wa’alaikumsalam..” jawab Ayahnya.
“Ayah, aku mau bantu Ayah ya, aku ingin ikut dengan Ayah.” Rosyid memohon kepada Ayahnya untuk diijinkan membantunya.
Namun, Ayahnya hanya tersenyum. Dengan keringat
yang kian mencucur dari keningnya, mungkin senyumnya menandakan membolehkannya
Rosyid untuk membantunya.
Rosyid memang anak yang
baik, dia selalu membantu Ayahnya
setelah dia pulang dari sekolah. Tidak seperti anak seusianya, yang sedang asyik-asyiknya
bermain.
Di tengah tempat pembuangan sampah, aroma
bau yang kian menyengat tidak menghiraukan hidung mereka. Mungkin sudah terbiasa
dengan bau itu. Sehingga bau yang tidak disukai setiap orang sudah menjadi
aroma kewangian dalam kesehariannya yang kian melekat di tubuh. Tidak peduli bau sampah, kotor, atau pun
lalat-lalat yang terus setia menemaninya bekerja, menempel di jari-jari kakinya.
Yang terpenting mereka masih tetap mendapatkan rizki yang halal.
Sembari memulung sampah
Rosyid sangat ceria dengan wajah sumringah
menceritakan kegiatannya disekolah.
Satu jam setengah
setelah terus-terusan menajamkan mata di atas
tumpukan sampah untuk mencari
botol bekas, Ayah Rosyid mengajaknya
untuk istirahat dahulu.
Dibawah pohon kalpataru
mereka berteduh, menyenderkan tubuh ke pohon besar yang banyak dipercayai oleh
banyak orang bahwa pohon kalpataru akan mewujudkan apapun yang diinginkan. Tapi
mereka tidak mempercayainya, selain hanya kepada Tuhan-lah mereka percaya. Saat
itu tidak lupa Rosyid memberikan air dalam botol yang disimpan dalam tasnya.
Sambil
merehatkan tubuh, Rosyid mengambil buku dan pensil yang sudah pendek dari
tasnya. Dia lukis gambar-gambar yang ada disekelilingnya. Sambil mengobrol
dengan Ayahnya
yang terus menerus mengipas badannya dengan topi yang sudah rombeng dan lusuh,
sesekali menghapus keringat di keningnya dengan baju lengan kanan.
“Ayah, kenapa aku selalu dikucilkan sama
teman-teman sekelas? Padahal kita sama-sama makan nasi, sama-sama tercipta dari
sari pati tanah, tapi kenapa mereka memandangku dengan sebelah mata?”
“Dan kenapa mereka selalu berkata kalau
aku ini bodoh! Ayah, aku bodoh?” Rosyid terus menggerutu tanpa berhenti, karena
terbawa emosi dan kesal mengingat
kejadiannya di kelas
“Nak, kamu itu pintar. Kata siapa kamu
bodoh? Kamu anak Ayah
paling hebat sedunia,”
jawab Ayahnya dengan
pandangan mata bak sinar bulan yang tertuju kedepan mata Rosyid.
Rosyid tersenyum dan menganggukan kepalanya dan terus
saja menggambar dengan asyiknya. Tiba-tiba Ayahnya mengajak Rosyid untuk pulang. Saat Ayahnya beranjak berdiri, Rosyid menghentikannya dan memperlihatkan
gambar yang di lukisnya. Terlihat
gambar rumput-rumput, pohon besar yang dibawahnya ada seekor kucing yang sedang
tidur. Ayahnya tersenyum
sembari mengusap kepala Rosyid dan membereskan gerobaknya.
Lalu, Rosid bertanya “gimana Ayah, bagus tidak gambar buatanku?”
“Bagus nak, kau memang anak Ayah yang jago menggambar. Ayah doakan
ya, semoga kamu menjadi seorang pelukis yang terkenal,” jawab Ayahnya sambil menepak-nepak bahu rosyid.
“Oya?
dikasih nilainya berapa yah? Hehe” tanya Rosyid dengan riang yang kekeh ingin
dikasih nilai oleh Ayahnya.
“Seratus untuk kamu,” ucapnya
sambil tersenyum dan mendorong gerobaknya.
Saat itu hati Rosyid
bahagia, karena dikasih nilai 100 oleh Ayahnya.
Bahagianya bagai dihujani mutiara diatas punggung. Bibir bak bulan sabitnya
merekah membentuk senyum. Mereka pun pergi.
Beberapa meter sebelum
sampai di rumah, diluar
rumah kecilnya tercium aroma sedap memanggil perut rosyid yang kebetulan sangat
lapar. Dari depan jendela, Rosyid
menengok sambil melepaskan sepatunya.
“wah, singkong goreng!”
teriak Rosyid
dengan suara yang lantang dan matanya membelalak tertuju ke arah singkong goreng.
“iya nih, ibu siapkan
untuk kalian.” Ucap Ibunya sambil menggoreng singkong.
Kemudian Ayahnya datang menyusul dan langsung duduk di
kursi meja makan.
“masak apa bu?” tanya Ayahnya
“masak singkong, tadi
ada tetangga yang ngasih ke Ibu.”
Jawab Ibunya sambil membawakan sepiring singkong dan
segelas teh
hangat.
Dengan senangnya mereka
makan goreng singkong bersama, kehangat pun menjelma di rumah mereka.
Ketika matahari tiba di ufuk timur, Rosyid langsung bergegas ke sekolah,
tanpa sepotong roti dan segelas susu atau coklat hangat seperti anak-anak para
pejabat yang selalu setiap saat menyantapi sarapannya dengan nikmat. Rosyid
langsung berangkat-berlari dengan penuh semangat.
Rosyid duduk dengan Zidan temannya yang baik. Lima menit
setelah mata pelajaran terakhir selesai, Rosyid
dipanggil oleh Ibu
gurunya untuk keruangan
guru.
“nak, bagaimana dengan
orangtuamu sekarang?” Tanya Ibu
guru, “surat yang kemarin ibu kasihkan ke kamu sudah disampaikan ke
orangtuamu?”
Namun Rosyid hanya terdiam dan merunduk tanpa kata. Karena surat yang dikasihnya kemarin, dia
buang ke tong sampah. Dia
pikir, kalau pun surat itu dikasihkannya kepada orang tua, mereka pasti akan sedih-melihat Rosyid. Surat yang berisi perhatian untuk
cepat segera membereskan masalah tunggakannya.
Rosyid bersedih hati,
namun dia tetap semangat untuk berjuang ditengah kepedihan. Dan terus berusaha
menggubah hatinya dengan semangat yang tak ada batasnya.
Setelah itu, rosyid
langsung pulang dengan laju gerak perlahan, dan seperti biasa, setiap pulang
sekolah Rosyid
pergi dan berlari menuju tempat Ayahnya
bekerja.
Rosyid mencoba
menghilangkan pikiran yang dikacaukan dengan hutang, dan menahan air matanya
yang sempat keluar ingin mengalir diatas pipinya. Lalu, dia berlari kencang
dengan wajahnya yang penuh kesemangatan tidak menandakan kesedihan hatinya.
Saat ditengah perjalanan, ada sekerumunan orang yang berkumpul ditengah jalan.
Rosyid pun menghampiri, dengan hati penasaran. Saat dia di depan orang yang berkerumun itu,
terlihat sesosok bapak-bapak yang terkapar dengan topinya yang sudah terhempas
dipenuhi darah berceceran. Rosyid langsung membalikkan wajah orang itu, karena
dia merasa kasihan. Dan ternyata bapak-bapak itu adalah Ayahnya Rosyid. Hatinya tiba-tiba luluh, tangan
dan kakinya lemas. Melihat ayahnya yang terkapar digelumuti darah berceceran—Rosyid berteriak histeris.
Setelah dibawa ke rumah
sakit, nyawa Ayahnya
sudah tidak terselamatkan lagi,
dia tertabrak
mobil dan langsung meninggal. Lalu
dikuburkannya di pemakaman kota terdekat.
Kini, dirumah hanya
bertiga—Rosyid,
Ibu, dan adik kecilnya Rahma.
Semenjak Rosyid kehilangan sosok Ayahnya, dia sering melamun dan menangis
sendiri.
“nak, sudahlah. Jangan
seperti ini terus, nanti Ayah
pun akan
ikut sedih disana.” Dengan sabarnya Ibu
selalu menenangkan
hati Rosyid setiap
saat.
Sebelum langit
menyingsingkan fajarnya, Rosyid
bersedih nampak
di depan makam Ayahnya. Dalam hatinya bertekad dan
bergumam “Ayah,
aku percaya dengan semua perkataan Ayah
saat itu, kata-katamu akan selalu diingat dalam sanubari. Kau percayakan aku
bahwa aku
akan menjadi pelukis yang terkenal dan akan membanggakan Ibu juga adik”.
Perlahan Rosyid melepaskan kesedihan dengan
haru-birunya. Dia
selalu mengempaskan kerinduannya dengan melukis disetiap pagi, disetiap
menjemput senja, dan malam mulai tiba.
Semua
lukisan-lukisannya dipajang di bilik-bilik kamar, dan setiap ada perlombaan
melukis, dia selalu menjuarainya.
“aku anak lelaki
satu-satunya dirumah, aku harus bisa seperti Ayah—kuat,tegar,selalu berusaha. Aku harus
menjadi anak yang hebat yang pernah dikatakan Ayah sebelumnya. Aku harus membanggakan
semua” Rosyid
menggumam ditengah lukisan yang dilukisnya.
Hari-hari pun terlewati,
musim dengan setianya bergantian, tahun demi tahun silih
berganti bak daun-daun kering yang tersapu
oleh angin.
Rosyid kini menjadi
pelukis yang terkenal, dia sering pulang-pergi ke luar negeri untuk dimintai dia melukis disana.
Lukisan terkenalnya adalah lukisan yang menggambarkan sketsa seorang Ayah, anak lelaki kecil, dan gerobaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar