Jumat, 15 November 2013

Cerpen: ONTEL



Dalam teriknya matahari di tengah jalan raya yang kian menyengat punggung bumi dan penuh polusi, semakin hari udara semakin tidak bersahabat, asap knalpot kian meleburi tengah kota dengan gerakannya yang khas gerak brown.
Dibawah traffic light tengah kota, mobil yang aku kendarai berhenti—mengikuti aturan lalu lintas. Ternyata jalan yang akan aku lewati saat itu ditutup, sedang ada pemeriksaan badan keamanan oleh sector setempat. Macet kian panjang,  diperkirakan satu jam kemudian jalan baru bisa dibuka kembali. Kota metropolitan yang dipenuhi hiruk pikuk keramaian, lalu lalang kehidupan penuh dengan kegersangan, serba-serbi dan balada kota nampak ada disisi jalan trotoar. Sambil menghilangkan kejenuhan dalam mobil diputar alunan musik pop yang famous di Indonesia. Sejenak menatap kaca spion sebelah kanan melihat mobil yang berjejeran begitu panjang seperti makam-makam yang berjejer dikesepian, namun ini dikeramaian kota yang membuatku rindu akan kampung halaman. Lirik kiri – lirik kanan, aku menggelengkan kepala tak karuan menahan beban dan pegal yang menumpuk di ujung pundak. Saat aku melihat ke sebelah kiri jalan dari balik kaca mobil, nampak sepeda ontel yang terjajar rapi di sebuah toko kecil yang bernamakan “sepeda onthel’s”.
Tiba-tiba  pikirku melayang terseret ke masa lalu, mengingatkanku akan Ontel dan Ibu. Dalam bayang menghujam kesegala arah dimensi ingatanku.
Dibenakku,
 Pagi-pagi sekali, aku bergegas pergi sekolah. Sebelumnya aku membereskan buku-buku dan pensil warna hitam bergaris merah diujungnya terdapat penghapus menempel warna pink, pensil kesayanganku. Semua aku masukan kedalam tas yang sudah kummel dan robek sedikit disebelah kanan bawah. Lalu, Ibu pun memanggilku “Sheila, ayo kita berangkat”. Ibu selalu setia mengantarkanku ke sekolah dengan sepeda ontel kesayangan keluarga, sepeda ontel wasiat dari eyang kakung. Jarak sekolah dari rumah lumayan jauh, sekitar empat kilo meter. Ibu selalu semangat mengayuh ontelnya dengan senang hati, begitupun aku selalu semangat sekolah karena Ibu.
Mentari pagi mulai menyapa saat kita di                tengah perjalanan, melewati rumput-rumput yang jangkung, dan daun-daun anggur yang berduri. Rumahku memang jauh dari perkotaan. Jauh dari hiruk pikuk keramaian. Hanya kedamaian ditengah persawahan yang selalu membelai disetiap suasana.
“Bu, sudah hampir jam tujuh, sekarang aku akan upacara” bisikku dari belakang yang sedang dibonceng kepada Ibu yang tetap semangat mengayuh ontelnya.
Setibanya didepan gerbang sekolah, teman-teman sudah berbaris di tengah lapang dengan baju seragam merah-putih, para guru pun terlihat berdiri rapi dengan seriusnya mengikuti apel upacara. Karena upacara sudah dimulai, aku pun menunggu di depan gerbang.
“Bu, aku terlambat” ucapku dengan nada mengeluh mendesah.
“maafin Ibu ya, nak. Gara-gara Ibu pelan mengayuh sepeda ontelnya kamu jadi terlambat” balas Ibu sambil mengelus rambutku yang hitam dan panjang.
Aku hanya menunduk dengan rasa sedih karena tidak bisa mengikuti upaca hari senin.
“kita ikuti saja upacaranya disini” Ibu menenangkan hatiku, memberikanku semangat yang terus berkobar, dan memberikanku keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.
Aku berdiri di samping sepeda ontel depan gerbang sekolah yang tertutup. Namun, aku mengikuti upacaranya dengan khidmat walau hanya di depan gerbang. Ibu tetap menemani, belum beranjak pergi sebelum aku memasuki kelas.
Setelah upacara selesai, dan semua murid-murid telah bubar memasuki kelasnya masing-masing bagai orang-orang di pasaran yang sedang sibuk mencari bahan makanan yang akan dibelinya. Aku meminta ijin kepada tugas piket untuk memasuki sekolah, lalu aku pun pergi ke kelas di ujung ruangan sekolah. Setelah aku memasuki gedung sekolah, Ibu langsung pergi untuk mengisi harinya dengan berjualan macam-macam kue manis dan asin, di sepanjang perumahan.
Dipojok kelas, aku duduk dengan rasa semangat untuk memulai pelajaran hari ini. Teman-teman yang dengan sorak-sorak gembiranya tetap terus bercanda setelah mengikuti upacara.
“selamat pagi anak-anak” sapa Ibu Jubaedah, guru yang paling cantik dan baik. Suasana kelas pun langsung hening, murid-murid pun terduduk rapi dibangkunya.
Dikelas aku terbilang anak yang pendiam, namun tetap aktif disetiap guru menyuruh muridnya kedepan untuk mengerjakan soal-soal latihan. Aku sering juara kelas setiap tahun. Guru-guru pun menyayangi sosok diriku ini.
Saat jam istirahat tiba, teman-teman semua bersorak-sorak sambil berangkat menuju kantin disamping sekolah, dan ada juga yang bermain-main di halaman sekolah, sedangkan aku tetap diam di kelas. Perutku mulai keroncongan juga, aku pun langsung membuka ransel meraup makanan yang telah disediakan Ibu sebelum berangkat dini hari. Satu biji ubi lembu ditaburi gula batu, aku lahap dengan habisnya.
Aku berlari-lari kecil ke depan gerbang saat bel pulang berbunyi. Di bawah pohon samping sekolah, nampak Ibu sedang menunggu kepulanganku. Ibu menyambutku dengan wajah yang berbinar. Untung, hari ini cuaca sedang bersahabat, tidak seperti hari sebelumnya. Hujan mengguyur dengan derasnya, saat itu kita berteduh di Gazebo taman kota. Baju yang sudah basah kuyup memeluk erat tubuhku. Aku memanggul tas melindungi buku-buku dari hujan. Saat itu juga, ontel yang kita kendarai rusak, ditengah derasnya hujan Ibu memperbaiki rel sepeda ontel yang lepas. Di Gazebo taman kota, hanya tampak kita berdua yang berdiri disana. Dan sesampainya di rumah, Ibu memberikanku segelas teh hangat dan membawakan handuk kecil untuk mengeringkan rambutku yang sudah basah. Kejadian saat itu mungkin tidak akan pernah aku luapakan.
Kita tinggal berdua dirumah, semenjak Ayah meninggal dunia di umurku yang ke-5 tahun. Sekarang sosok Ibu menjadi dua kepala, sebagai Ibu yang penuh dengan kasihnya dan sebagai Ayah yang penuh rasa keberanian. Ibu tidak pernah terlihat berkeluh-kesah, walau Ayah telah tiada meninggalkan kita duluan. Dia tetap semangat menjalani hari, dan selalu melindungiku dari apapun itu. Ibu memang sosok yang teramat aku banggakan. Aku pun bertekad untuk membahagiakan Ibu, dan memenuhi mimpinya untuk pergi ke Baitulloh—Makkah.
Saat malam menjelang bintang dan bulan, aku selalu belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah dibawah lampu yang berpijar dengan payaunya. Setelah selesai mengerjakan tugas, aku tidak lupa menulis sebait puisi atau pun cerpen. Karena aku sangat suka menulis. Malam ini aku menulis puisi di buku kecil yang aku beri nama “bank buku” yaitu buku yang dipenuhi dengan karya-karya tulisku.
“Di bawah purnamaMu, aku bersujud
dalam mabuk suara tasbih yang hening,
mengantarkan semilir dzikir yang terbawa angin
menuju ruhmu, sayang.
Akan ku raup bintang dan kutaburkan diatas batu nisan.
Rinduku, Ayah.”
Malam ini aku menuliskan sebait puisi untuk sang Ayah, yang aku merindunya. Puisi-puisiku mungkin tak sebagus para tokoh penulis, seperti Chairil Anwar, ataupun siapalah itu, tokoh sastrawan terkemuka. Aku hanya meluapkan kerinduanku yang kian menumpuk di ujung palung hati, dan mengendap dalam dada. Menyatukan kata demi kata dari penjuru dunia, dari pojok bahtera cinta, aku satukan menjadi bunga yang ku persembahkan untuk Ayah. Kadang aku bermimpi untuk mengikuti jejak-jejak para penulis yang mulia, yang bisa menyatukan jiwanya dalam setiap kata dan mampu memberikan ruh kepada setiap kata.
Saat aku terlelap, tiba-tiba bayang-bayang melintas di ufuk mata, berkerumun dengan kesemerawutan yang porak-poranda. Suara-suara keras yang mengguntur kedalam telinga. Semua menggoncangkan raga yang sedang menyusuri mimpi-mimpi. Semua terasa terikat, mengikatku. Seakan aku mimpi yang teramat buruk sedunia.
tiiiittt……ttiiiittt….tiiittt…!!!!”
Suara terus menderu menelusupi gendang telinga.
“tiitt…..tiiittt….ttiiiittt….!!!!”
“woy…. Awas…!!”
Aku langsung membuka mata, dengan jantung yang berdegup kencang tak karuan, mata yang perih, tangan dan kaki semakin dingin membeku. Badanku terhentak. Aku hanya melihat bayang-bayang yang samar,tak jelas aku lihat. Terus ku coba jelaskan penglihatanku. Hanya lalu lalang yang melintas depan mataku. Aku tidak menyadari tempat yang aku duduki, terus ku coba ingat-ingat kembali, memeras otakku  untuk menafsirkan semua yang ada. Semua buyar, tak mengerti dengan semua yang tampak depan mata. Aku lirik kanan – lirik kiri, dan kini bayang-bayang mulai tampak jelas depan mata. Terlihat sepeda ontel  yang terjajar rapi di toko kecil yang bernamakan “sepeda onthel’s”. aku jadi teringat dengan ontel masa lalu ku, aku pusing, puyeng, entah aku sudah pingsan atau tertidur, yang aku rasakan hanyalah rindu akan Ibu dan ontel kesayanganku. Tiba-tiba seorang bapak-bapak menggedor-gedor kaca dari pinggir sebelah kanan.
“mbak, awas. Mobilnya mau melaju! Di belakang macet..!”
Aku kaget, terhentak. Ada apa ini sebenarnya? Aku lihat kedepan nampak mobil-mobil yang sedang berlintasan, melihat tanganku yang sedang memegang setir mobil, aneh rasanya. Suara klakson dari belakang terus mengguntur, seakan mereka semua emosi kepadaku. Aku lihat, ke kanan, kiri, belakang, kesegala arah. Ternyata aku sedang didepan traffic light, menunggu lampu hijau kembali. Aku tak mengingat hari ini akan pergi ke kampung halaman. Ditengah kemacetan tadi aku tertidur. Tidak menyadari, satu jam aku tenggelam dalam bayangan masa lalu.
*             *             *             *
Kini, setelah dua puluh tahun berlalu. Aku tinggal di Ibu kota, menjadi seorang guru sastra di sekolah terbesar Se-Indonesia. Aku pun telah mewujudkan keinginan Ibu untuk pergi ke Mekkah.
                                                                *             *             *             *
Aku langsung melajukan mobil yang dikendarai, menuju kampung halamanku untuk bertemu Ibu, dan sepeda ontel kesayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar