Dalam teriknya matahari di tengah jalan raya yang kian menyengat
punggung bumi dan penuh
polusi, semakin hari udara semakin tidak bersahabat, asap knalpot kian meleburi
tengah kota dengan gerakannya yang khas gerak brown.
Dibawah traffic light tengah kota, mobil yang aku kendarai berhenti—mengikuti
aturan lalu lintas. Ternyata jalan yang akan aku lewati saat itu ditutup, sedang ada pemeriksaan
badan keamanan oleh sector setempat. Macet kian panjang, diperkirakan satu jam kemudian jalan baru bisa dibuka kembali. Kota metropolitan
yang dipenuhi hiruk pikuk keramaian, lalu lalang kehidupan penuh dengan
kegersangan, serba-serbi dan balada kota nampak ada disisi jalan trotoar.
Sambil menghilangkan kejenuhan dalam mobil diputar alunan musik pop yang famous di Indonesia. Sejenak menatap
kaca spion sebelah kanan melihat mobil yang berjejeran begitu panjang seperti
makam-makam yang berjejer dikesepian, namun ini dikeramaian kota yang membuatku
rindu akan kampung halaman. Lirik kiri – lirik kanan, aku menggelengkan kepala
tak karuan menahan beban dan pegal yang menumpuk di ujung pundak. Saat aku melihat ke sebelah kiri jalan dari balik
kaca mobil, nampak sepeda
ontel yang terjajar rapi di sebuah toko kecil yang bernamakan “sepeda
onthel’s”.
Tiba-tiba pikirku melayang terseret ke masa lalu,
mengingatkanku akan Ontel dan Ibu. Dalam bayang menghujam kesegala arah dimensi
ingatanku.
Dibenakku,
Pagi-pagi sekali, aku bergegas pergi sekolah.
Sebelumnya aku membereskan buku-buku dan pensil warna hitam bergaris merah diujungnya
terdapat penghapus menempel warna pink, pensil kesayanganku. Semua aku masukan
kedalam tas yang sudah kummel dan robek sedikit disebelah kanan bawah. Lalu,
Ibu pun memanggilku “Sheila, ayo kita berangkat”. Ibu selalu setia
mengantarkanku ke sekolah dengan sepeda ontel kesayangan keluarga, sepeda ontel
wasiat dari eyang kakung. Jarak sekolah dari rumah lumayan jauh, sekitar empat kilo meter. Ibu selalu
semangat mengayuh ontelnya dengan senang hati, begitupun aku selalu semangat sekolah karena Ibu.
Mentari pagi mulai menyapa saat
kita di tengah perjalanan, melewati rumput-rumput yang
jangkung, dan daun-daun anggur yang berduri. Rumahku memang jauh dari perkotaan.
Jauh dari hiruk pikuk keramaian. Hanya kedamaian ditengah persawahan yang
selalu membelai disetiap suasana.
“Bu, sudah hampir jam tujuh,
sekarang aku akan upacara” bisikku dari belakang yang sedang dibonceng kepada Ibu yang tetap semangat mengayuh
ontelnya.
Setibanya didepan gerbang
sekolah, teman-teman sudah berbaris di tengah
lapang dengan baju seragam merah-putih, para guru pun terlihat berdiri rapi
dengan seriusnya mengikuti apel upacara. Karena upacara sudah dimulai, aku pun
menunggu di depan gerbang.
“Bu, aku terlambat” ucapku dengan
nada mengeluh mendesah.
“maafin Ibu ya, nak. Gara-gara Ibu pelan mengayuh sepeda ontelnya kamu
jadi terlambat” balas Ibu
sambil mengelus rambutku yang hitam dan panjang.
Aku hanya menunduk dengan rasa
sedih karena tidak bisa mengikuti upaca hari senin.
“kita ikuti saja upacaranya
disini” Ibu menenangkan
hatiku, memberikanku semangat yang terus berkobar, dan memberikanku keyakinan
bahwa semua akan baik-baik saja.
Aku berdiri di samping sepeda ontel depan gerbang sekolah
yang tertutup. Namun, aku mengikuti upacaranya dengan khidmat walau hanya di depan gerbang. Ibu tetap menemani, belum
beranjak pergi sebelum aku memasuki kelas.
Setelah upacara selesai, dan
semua murid-murid telah bubar memasuki kelasnya masing-masing bagai orang-orang
di pasaran yang sedang sibuk mencari
bahan makanan yang akan dibelinya. Aku meminta ijin kepada tugas piket untuk
memasuki sekolah, lalu aku pun pergi ke kelas di ujung ruangan sekolah. Setelah aku memasuki gedung sekolah, Ibu langsung pergi untuk mengisi
harinya dengan berjualan macam-macam kue manis dan asin, di sepanjang
perumahan.
Dipojok kelas, aku duduk dengan rasa semangat untuk
memulai pelajaran hari ini. Teman-teman yang dengan sorak-sorak gembiranya
tetap terus bercanda setelah mengikuti upacara.
“selamat pagi anak-anak” sapa Ibu
Jubaedah, guru yang paling cantik dan baik. Suasana kelas pun langsung hening,
murid-murid pun terduduk rapi dibangkunya.
Dikelas aku terbilang anak yang
pendiam, namun tetap aktif disetiap guru menyuruh muridnya kedepan untuk
mengerjakan soal-soal latihan. Aku sering juara kelas setiap tahun. Guru-guru
pun menyayangi sosok diriku ini.
Saat jam istirahat tiba,
teman-teman semua bersorak-sorak sambil berangkat menuju kantin disamping
sekolah, dan ada juga yang bermain-main di halaman sekolah, sedangkan aku tetap
diam di kelas. Perutku mulai keroncongan juga, aku pun langsung membuka ransel
meraup makanan yang telah disediakan Ibu sebelum berangkat dini hari. Satu biji ubi lembu ditaburi gula
batu, aku lahap dengan habisnya.
Aku berlari-lari kecil ke depan gerbang saat bel pulang berbunyi. Di bawah pohon samping sekolah, nampak Ibu sedang menunggu kepulanganku. Ibu
menyambutku dengan wajah yang berbinar. Untung, hari ini cuaca sedang
bersahabat, tidak seperti hari sebelumnya. Hujan mengguyur dengan derasnya,
saat itu kita berteduh di Gazebo taman kota. Baju yang sudah basah kuyup
memeluk erat tubuhku. Aku memanggul tas melindungi buku-buku dari hujan. Saat
itu juga, ontel yang kita kendarai rusak, ditengah derasnya hujan Ibu memperbaiki rel sepeda ontel
yang lepas. Di Gazebo taman kota, hanya tampak kita berdua yang berdiri disana.
Dan sesampainya di rumah, Ibu
memberikanku segelas teh hangat dan membawakan handuk kecil untuk mengeringkan
rambutku yang sudah basah. Kejadian saat itu mungkin tidak akan pernah aku
luapakan.
Kita tinggal berdua dirumah,
semenjak Ayah meninggal dunia di umurku yang ke-5 tahun. Sekarang sosok Ibu menjadi dua kepala, sebagai Ibu yang penuh dengan kasihnya dan
sebagai Ayah yang penuh rasa
keberanian. Ibu tidak pernah terlihat berkeluh-kesah, walau Ayah telah tiada meninggalkan kita duluan.
Dia tetap semangat menjalani hari, dan selalu melindungiku dari apapun itu. Ibu
memang sosok yang teramat aku banggakan. Aku pun bertekad untuk membahagiakan Ibu, dan memenuhi mimpinya untuk
pergi ke Baitulloh—Makkah.
Saat malam menjelang bintang dan
bulan, aku selalu belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah dibawah lampu yang
berpijar dengan payaunya.
Setelah selesai mengerjakan tugas, aku tidak lupa menulis sebait puisi atau pun
cerpen. Karena aku sangat suka menulis. Malam ini aku menulis puisi di buku
kecil yang aku beri nama “bank buku” yaitu buku yang dipenuhi dengan
karya-karya tulisku.
“Di bawah
purnamaMu, aku bersujud
dalam
mabuk suara tasbih yang hening,
mengantarkan
semilir dzikir yang terbawa angin
menuju ruhmu, sayang.
Akan ku raup bintang dan kutaburkan diatas batu nisan.
Rinduku, Ayah.”
Malam ini aku menuliskan sebait
puisi untuk sang Ayah, yang
aku merindunya. Puisi-puisiku mungkin tak sebagus para tokoh penulis, seperti
Chairil Anwar, ataupun siapalah itu, tokoh sastrawan terkemuka. Aku hanya
meluapkan kerinduanku yang kian menumpuk di ujung
palung hati, dan mengendap dalam dada. Menyatukan kata demi kata dari penjuru
dunia, dari pojok bahtera cinta, aku satukan menjadi bunga yang ku persembahkan
untuk Ayah. Kadang aku bermimpi untuk mengikuti jejak-jejak para penulis yang
mulia, yang bisa menyatukan jiwanya dalam setiap kata dan mampu memberikan ruh
kepada setiap kata.
Saat aku terlelap, tiba-tiba
bayang-bayang melintas di ufuk mata, berkerumun dengan kesemerawutan yang
porak-poranda. Suara-suara keras yang mengguntur kedalam telinga. Semua
menggoncangkan raga yang sedang menyusuri mimpi-mimpi. Semua terasa terikat,
mengikatku. Seakan aku mimpi yang teramat buruk sedunia.
“tiiiittt……ttiiiittt….tiiittt…!!!!”
Suara terus menderu menelusupi
gendang telinga.
“tiitt…..tiiittt….ttiiiittt….!!!!”
“woy…. Awas…!!”
Aku langsung membuka mata, dengan
jantung yang berdegup kencang tak karuan, mata yang perih, tangan dan kaki
semakin dingin membeku. Badanku terhentak. Aku hanya melihat bayang-bayang yang
samar,tak jelas aku lihat. Terus ku coba jelaskan penglihatanku. Hanya lalu
lalang yang melintas depan mataku. Aku tidak menyadari tempat yang aku duduki,
terus ku coba ingat-ingat kembali, memeras otakku untuk menafsirkan semua yang ada. Semua buyar,
tak mengerti dengan semua yang tampak depan mata. Aku lirik kanan – lirik kiri,
dan kini bayang-bayang mulai tampak jelas depan mata. Terlihat sepeda
ontel yang terjajar rapi di toko kecil
yang bernamakan “sepeda onthel’s”. aku jadi teringat dengan ontel masa lalu ku,
aku pusing, puyeng, entah aku sudah pingsan atau tertidur, yang aku rasakan
hanyalah rindu akan Ibu dan
ontel kesayanganku. Tiba-tiba seorang bapak-bapak menggedor-gedor kaca dari
pinggir sebelah kanan.
“mbak, awas. Mobilnya mau melaju! Di belakang macet..!”
Aku kaget, terhentak. Ada apa ini
sebenarnya? Aku lihat kedepan nampak
mobil-mobil yang sedang berlintasan, melihat tanganku yang sedang memegang
setir mobil, aneh rasanya. Suara klakson dari belakang terus mengguntur, seakan
mereka semua emosi kepadaku. Aku lihat, ke kanan, kiri, belakang, kesegala
arah. Ternyata aku sedang didepan traffic
light, menunggu lampu hijau kembali. Aku tak mengingat hari ini akan pergi
ke kampung halaman. Ditengah
kemacetan tadi aku tertidur. Tidak menyadari, satu jam aku tenggelam dalam
bayangan masa lalu.
* * * *
Kini, setelah dua puluh tahun berlalu. Aku tinggal di Ibu
kota, menjadi seorang guru sastra di sekolah terbesar Se-Indonesia. Aku pun
telah mewujudkan keinginan Ibu untuk pergi ke Mekkah.
* * * *
Aku langsung melajukan mobil yang dikendarai, menuju kampung
halamanku untuk bertemu Ibu, dan sepeda ontel kesayanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar