Jumat, 25 Juli 2014

Harus Pandai Memanage Perasaan, Lina!

“Pintar-pintarlah menyembunyikan perasaan. Biarpun sedih, tampakkanlah kegembiraan” tuturnya dalam pesan singkat. Setelah semalam aku kirim pesan panjang yang penuh dengan keluh kesah.
Yaa Arhamarraahimiin, Irhamnaa, Irhamnaa, Irhamnaa. Yaa Lathiifu, Yaa Lathiifu, Yaa Lathiifu.
Teruslah berdzikir, maka akan kau temukan kenikmatan.
Teruslah bersyukur, maka akan berlipat kali kenikmatan.
Tidak ada bahagia berlebih, tidak ada sedih berlebih.
Nikmati apa yang ada dihadapanmu, tidak semata-mata Allah memberikan suatu kejadian tanpa hikmah dan pembelajaran. Jangan meresahkan apa yang akan terjadi, jangan menangisi apa yang sudah terjadi, tapi lakukanlah yang terbaik untuk hari ini.
Syukurku, Yaa Allah.

Kamis, 15 Mei 2014

Hilde

Sudah mendarah daging sepertinya kebiasaan yang kurang baik—fluktuatif ketika hendak akan bertambah umur beberapa hari lagi. Menjadi tidak karuan, berpikir lebih dalam dari sebiasanya, dan sedikit galau. Sebab aku memikirkan; usia. Semakin sini semakin bertambah angka usiaku, semakin menyusut kesempatan untuk menghela nafas dan menari di pasar fana. Yang aku pikirkan adalah Aku. Ya, aku. Aku bukan siapa-siapa dan belum menjadi siapa-siapa. Dan memang bukan tentang siapa.
Hanya seonggok daging yang bernyawa. Seseorang yang asyik bermain dengan imajinya, setia mengirim surat pada selubung embun dengan amplop merah jambu tak beralamat, meraba dan membaca dari raut muka dan cerita. Dalam diamnya berpikir, berlipat kali dari berpikir orang yang sebiasanya, menjamah dan menelusur sepersekian detik. Aku. Ah, tidak mengerti.
 Sikap dan sifat masih jauh dari kata sempurna. Masih tetap seperti ini. Tanpa piagam dan medali. Atau barangkali.
Tidak ada yang bisa aku berikan atau simpan sebagai kenangan yang baik dan manis. Hanya keangkuhan dan keacuhan. Tidak ada yang bisa membuatku semakin dekat untuk mempertemukanku dengan-Nya. Akhirnya, hanya Rahmat-Nya yang aku harapkan. Betapapun, akan tiba waktunya aku pasti kembali pada-Nya.
Tuhan, rengkuh aku dalam doa.

Bandung, 15/05/14
LFE
14:00

Sabtu, 10 Mei 2014

Gugurnya Daun Di Musim Semi (Naskah Lomba Menulis di Majalah ISMA)


Gugurnya Daun Di Musim Semi
Sudah lama aku tidak bermain dengan teman-teman setelah aku pindah kemari. Berfoto, makan-makan, jalan ke mall. Itu semua tidak pernah aku jumpai kembali. Atau mengerjakan tugas kelompok bersama-sama.
            Aku hanya terdiam di ruang hampa ini, hanyut dalam ketiadaan seperti kerlip bintang yang kesepian. Memegang boneka dan foto Fikri yang semakin lusuh.
            Ah, Fikri ...
            Kau begitu kejam, menggugurkan mimpi-mimpi yang telah aku tanam. Kalau bukan karenamu mungkin aku telah menjadi satu bintang yang cemerlang. Seperti namaku Nazma yang berarti bintang.
            Keluarga tidak akan pernah meretas dendam. Dan mencarimu yang telah mengucilkanku kemari. Aku sudah tidak tahu siapa diri ini, hanya memanggil namamu kekasihku, Fikri. Dan sesekali aku robek fotomu kemudian aku pasang kembali.
*                                              *                                              *
            Hujan turun begitu deras. Aku hendak pergi ke kossan kakak kelas sekaligus kekasihku, Fikri. Kita sudah berhubungan satu bulan.
            Ketika di kost-an, baju kita basah kuyup. Fikri membawakanku secangkir teh hangat. Dia memang perhatian. Aku pun meminum tehnya sampai habis. Beberapa saat kemudian aku merasa pusing dan mengantuk. Namun aku tahan. Tapi aku begitu menikmati mataku yang terpejam dalam.
            Saat itu aku lihat hujan sudah reda, hanya meninggalkan titik air di daun. Fikri terduduk merunduk dan sudah berganti baju. Lalu, dia menyuruhku untuk segera pulang. Aku jadi merasa aneh, padahal aku rasa baru saja aku datang ke kost-annya, dan sekarang sudah disuruh pulang lagi. Tapi saat aku lihat jam ternyata sudah senja, aku semakin tidak mengerti. Namun aku hiraukan itu semua. Mungkin Fikri menyuruhku pergi karena takut aku pulang kemalaman dan hujan lagi. Aku pun segera pulang.
            Besok harinya aku masuk sekolah seperti biasa. Dan masih suka kontekan dengan Fikri. Jarak antara kelasku dan kelasnya lumayan dekat. Namun sikap dia menjadi beda, setelah aku pergi ke kossannya. Dia jarang membalas pesanku, dan jarang menampakan wajahnya di depan mata. Aku pun jadi merasa aneh dengan tingkahnya.
            Akhir-akhir ini aku selalu merasa mual, dan datang bulan pun telat. Semua ini membuatku resah. Satu bulan kemudian aku merasa ada yang aneh dari diriku. Perutku agak membuncit. Aku terus berusaha untuk berpikiran positif. Namun semakin hari aku semakin penasaran dengan keadaanku dan terhadap perubahan sikap Fikri. Karena datang bulan tak kunjung datang, aku mencoba mengetes air urin dengan tes kehamilan. Walau jauh dari pikiranku akan hamil.
            Tapi ternyata hasil dari tes itu positif—hamil. Hatiku mulai galau, panik, takut dan membuatku bingung kenapa bisa hamil. Setelah aku mengingat hari-hari sebelumnya, terakhir aku bertemu dengan lelaki adalah dengan Fikri ketika aku diajak main ke kossannya.
            Hatiku menjerit kenapa bisa terjadi seperti ini. Aku pun langsung menghubungi Fikri lewat via telefon. Dan akhirnya dia mengakui bahwa dia telah menghamiliku. Dia menceritakan ketika aku di kossan dengan basah kuyup dan diberinya minum, disana dia menaruh obat ke dalam air teh itu. Dan saat itu dia menikamku tanpa aku sadari. Dia menjelaskan bahwa dia melakukan itu karena mencintaiku. Saat itu hatiku hancur, air mata tiada henti membasahi. Aku kira dia adalah orang yang baik dan pengertian. Namun jauh dari itu. Dia biadab telah mengkotori, dan menyeretku ke dunia yang terputuskan dari kehormatan manusia.
            Besok harinya di sekolah—ketika aku tanyakan keberadaan Fikri. Temannya berkata bahwa dia tidak ada. Aku hubungi nomor handphonenya selalu di reject. Semakin hari aku semakin seperti orang gila. Memikirkan keberadaan orang yang telah menyakiti. Aku tidak memberi tahu hal ini kepada keluarga karena aku terlalu takut untuk mengatakannya.
            Tiada hari kegelisahan dan ketakutan pun kian menyelimuti. Aku bertekad untuk menggugurkan kandungan, karena Fikri mulai menghilang dan itu membuatku semakin galau. Nomornya sekarang tidak bisa dihubungi, aku hampiri ke kossannya namun tidak ada. Aku selalu berusaha menggugurkannya namun tidak bisa. Semakin hari kandungan ini semakin membesar. Aku pun mulai membuka rahasia ini dengan terpaksa kepada keluarga.
            Di ruang keluarga terdapat Ayah, Ibu, kak Rio dan mbak Cantika kembaranku. Mereka terlihat sedang asik menikmati senja. Sedang aku dibalik pintu menengok dengan rasa takut yang begitu dahsyat. Jantung berdegup begitu kencang. Kaki sulit dilangkahkan untuk menghampiri mereka. Mereka sedang diselimuti kehangatan dan bahagia, sedang aku membawa kabar yang akan merusak potret mereka. Dengan perlahan aku menghampiri, tanganku begitu dingin seperti bongkahan es dan gemetar.
            “ibu, ayah” ucapku perlahan dan terasa sulit bibir ini untuk berbicara
            “iya nazma, kenapa?” jawab Ibu, sedang Ayah, kak Rio dan kembaranku mbak Cantika tertuju kepadaku yang berdiri.
            Air mataku sudah tidak bisa tertahan lagi, hingga menitik di atas pipi.
            “kamu kenapa menangis?” tanya ayah
            “aku hamil” dengan terbata-bata dan sulit aku katakan semua.
            Semuanya tersontak kaget mendongak melihatku yang merunduk dan sembab.
             “apa?! Kamu hamil?!” pekik ibu dan hendak berdiri dari kursi
            “iya..” dengan lirih aku mulai menangis merintih
            “kenapa bisa begitu nazma?! Oleh siapa kamu di hamili?!” tanya Ayah dengan nada tinggi. Sedang kak Rio dan mbak Cantika terlihat kaget dan masih tidak percaya dengan kabar buruk ini.
            “sama kakak kelasku”
            Ibu langsung menamparku dengan keras, hingga aku terbujur ke lantai. Ibu begitu kecewa dan marah. Apalagi aku lebih kecewa dengan diriku sendiri dan menyesal seumur hidup. Amarah ibu ditahan oleh kak Rio dan mbak Cantika. Ayah pergi ke kamar meninggalkanku yang tersungkur. Semua pergi meninggalkan aku sendiri.
            Keesokan harinya kak Rio menyuruhku untuk membawa Fikri ke rumah. Aku pun langsung berangkat ke sekolah tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu. Ketika aku datang ke kelasnya Fikri, dia tidak ada. Temannya berkata dia keluar dari sekolah ini. Amarahku meluap, hati ini begitu galau. Wajahku sembab karena menangis terus. Teman-teman sekelasku selalu menanyakan keadaanku yang semakin hari terlihat aneh. Namun aku tetap tidak pernah membuka rahasia ini.
            Setelah pulang sekolah aku pergi ke kost-annya Fikri. Aku tanyakan kepada Ibu kost namun ternyata dia sudah pindah. Ketika aku tanyakan alamatnya dia sama sekali tidak mengetahui karena Fikri tidak memberitahu. Hatiku hancur berkeping-keping saat itu. Aku tidak tahu alamatnya yang di Bandung, aku tidak tahu harus kemana lagi mencarinya. Nomornya sudah tidak bisa dihubungi.
            Saat itu aku putuskan untuk menggugurkan kandungan dan pergi ke tempat pengguguran kandungan di tempat yang terpencil. Namun setalah aku pergi kesana dan hasil dari testpack kandungan ini tidak berhasil digugurkan karena umur kandungan sudah tiga bulan dan itu cukup tua. Dari sana aku langsung pergi dan berjalan di trotoar ditengah derasnya hujan.
            Aku seperti orang gila menangis dengan keadaan basah kuyup. Pikiranku begitu kacau. Hati hancur berkeping-keping. Kekasihku yang selama ini aku percaya dan aku sayang ternyata dia begitu jahat dan biadab, telah menghamili tanpa mau bertanggung jawab. Dan meninggalkan semua tanpa ingin tahu bagaimana keadaanku sekarang ini yang semakin hari semakin galau.
             Ketika sampai di rumah, badanku begitu dingin. Dan aku membicarakan semua kepada keluarga bahwa Fikri telah kabur. Ayah pun mulai bertindak dan mencari kediaman Fikri untuk menikahiku. Kak Rio sudah melapor kepada polisi. Namun tetap saja tidak ditemukan. Hingga akhirnya keluarga pun memutuskan aku untuk hamil tanpa suami. Dan membiarkan kandungan ini tumbuh dengan sendirinya.
            Keluarga memberi surat sakit kepada pihak sekolah, aku pun tak pernah keluar dari kamar. Aku selalu menyendiri melihat kandungan ini semakin membesar. Hingga pada akhirnya tibalah dimana kandungan ini sudah sembilan bulan. Aku pun melahirkan. Begitu sakit aku rasa, darah berceceran dimana-mana. Bayi laki-laki terlahir dengan sempurna tanpa ayah disampingnya.
            Sungguh aku tidak siap mengurusnya. Suatu hari tante aku datang ke rumah. Dia mandul dan tidak mempunyai anak, lalu dia meminta ijin untuk mengurus anakku yang baru terlahir. Dengan hati yang tak jelas aku rasa karena sudah sering aku merasakan sakit, anak yang aku lahirkan pindah ke pangkuan tante aku sendiri dan dibawa ke luar kota tinggal bersamanya.
            Tetangga, teman-teman semua tidak ada yang mengetahui keadaanku saat ini. Rahasia ini ditutup rapat oleh keluarga. Karena mereka malu mempunyai anak yang telah dihamili orang lain. Dan mereka takut potret nama keluarga ini menjadi buruk. Hingga akhirnya ini semua menjadi rahasia keluarga seutuhnya.
            Sebulan kemudian aku tidak pernah keluar dari kamar. Selalu menyendiri berdiam. Menjerit-jerit dan menangis sendiri. Dan berteriak memanggil nama Fikri. Suatu hari Ibu dan Ayah membawaku ke suatu tempat. Mereka bilang itu adalah tempat baruku, dan akan ada Fikri datang kesana.
*                                              *                                              *
Ditempat yang bertembok putih, berjendela satu dan sunyi aku selalu sendiri. Sudah lama aku tinggal disini, menanti Fikri yang telah dikatakan keluarga akan datang. Terkadang orang-orang yang memakai baju putih memberiku makan dan membawaku bermain di halaman. Dipikiranku tidak ada yang lain selain nama Fikri. Aku ingin dia datang dan melihat bayiku.
            Kemudian Fikri datang, membawakanku makanan. Aku langsung menghampiri dan memeluknya.
            “kamu kemana saja?” ucapku “bayi kita sudah terlahir, dia lucu”
            Namun Fikri terus bediam tidak menyahutku, mungkin dia malu karena dulu meninggalkanku sendiri dengan beban yang berat.
            “fikri.. ayo kita lihat anak kita”
            Tiba-tiba fikri melemparku ke kasur “aku bukan Fikri” ucapnya
            “kamu fikri” jawabku memaksa. Dan tiba-tiba perlahan wajahnya berubah bukan Fikri. Dia memakai baju putih. Dia yang selalu membawkanku makanan. Dia benar-benar bukan Fikri. Dia adalah perawat di tempat ini—Rumah Sakit Jiwa.  Aku tahu, selama ini aku disimpan kemari. Namun aku merasa nyaman tinggal disini. Karena aku yakin Fikri akan datang. Keluarga sudah tidak pernah menengokku. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Hanya boneka dan foto lusuh Fikri yang aku punya. Mungkin jika Fikri tidak kunjung datang, aku harap anakku akan baik-baik saja disana. Dan aku hanya akan menunggu ajal tiba. Dimana aku akan pergi untuk selamanya.




Cianjur, 2011

LFE
Biodata
Nama               : Lina Fatinah
Kelas               : XII IPA 4
Ttl                    : Cianjur, 25 Mei 1993
Alamat                        : Kp. Jambudipa Rt. 01 Rw. 03 Kec. Warungkondang Kab. Cianjur
No. Hp                        : 0857 2111 0038

Aku Cinta Matematika!


Bulan Juni 2007. Aku naik ke kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Kelas baru, teman-teman baru, juga semangat baru. Aku sangat bersemangat menyambut itu semua, dan sempat ada rasa takut terkalahkan oleh teman-teman baru di kelas.
Dan saat itulah aku mulai mencintai Matematika. Karena sedari dulu aku kurang menyukai Matematika. Selain pelajarannya itu memusingkan juga guru-gurunya selalu berdarah tinggi alias sering marah-marah. Namun sekarang aku menjadi suka, bangga dan sangat mencintai Matematika. Setiap hari aku selalu menunggu pelajaran Matematika dan Tekhnologi Informasi Komunikasi, setiap ada pelajaran itu aku selalu menunggunya.
                        *                                  *                                  *
Day after day
Suasana kantin begitu ramai, dipenuhi kerumunan murid-murid. Sedang aku berdiri di koridor kelas lantai dua. Ketika bel berbunyi pertanda masuk, semua murid pun  masuk ke kelasnya masing-masing, termasuk aku masuk ke kelas dan duduk di kursi paling depan. Aku sangat senang sekali pada saat itu, karena pelajar Matematika akan segera di mulai. Teman-teman semua terlihat sudah kekenyangan karena sudah makan dan jajan di kantin tadi. Tapi aku begitu semangat. Ibu Anni, guru yang terkenal dengan memusingkan kepala maurid, padahal dia mengasyikan dan disetiap menjelaskan pelajaran Matematika tidak membuat jenuh dan pasti akan mengerti. Ibu Anni memakai kacamata tebal dan memulai pelajarannya. Seperti biasa dia menulis rumus-rumus di black board dan menjelaskannya. Setelah itu dia memberi soal latihan, dan menyuruh murid untuk ke depan mengerjakan soal-soalnya.
Saat itu aku ke depan dan mengerjakannya. Dengan lihai tanganku menulis angka-angka dan menjawab soal latihan.
“ayo, siapa lagi yang mau mengerjakan soal latihannya?” Tanya Ibu dengan nada tinggi
Teman-teman hanya terdiam dan melamun. Matanya seolah memperhatikan, namun mereka tidak memahami. Dan saat itu pun tidak ada murid yang maju ke depan terkecuali aku sampai berulang kali ke depan mengerjakan tugasnya. Padahal saat itu tidak ada soal yang sulit, semua begitu mudah untuk dikerjakan jika mengerti dan memahami.
“aku lagi bu” ucap aku sambil mengangkat tangan dengan tinggi dan semangat yang kian berkobar dibalik senyum bibir kecilku.
“jangan kamu terus, coba yang lainnya” jawab Ibu
namun teman-teman tetap saja tidak ada yang mau maju ke depan. Saat itu Ibu sedikit kecewa karena dari 38 murid hanya satu yang mengerti. Mungkin Ibu menyangka bahwa dia gagal memberikan pengajaran kepada muridnya.
Setelah lama kemudian bel berbunyi, tanda mulai ganti mata pelajaran. Saat itu ibu keluar kelas, tidak lama dari sana, aku berdiri di luar kelas yang ada di lantai atas. Sejenak me-refreshkan pikiran.
Kemudian teman-teman menghampiriku yang berdiam diri.
“na, kamu jago banget Matematikanya” ucap Rina
“iya hebat” selang Nazma menambahkan
“ah, engga. Biasa saja kok” jawab aku sambil tersenyum
“iya, beneran” ucap mereka dengan serentak
“kamu dulu ranking berapa na?” Tanya mereka
“hehe..malu kalau ditanya ranking” jawabku singkat
Aku tersenyum bahagia, karena kali ini aku begitu jatuh cinta Matematika dan sampai membuat bangga teman-teman. Ternyata jika kita memahami dan mempelajari Matematika dengan baik pasti kita akan bisa. Niat awal yang baik pasti menghasilkan akhir yang baik.




Cianjur, 2011

LFE

Surat Untuk Ibu (Naskah Lomba Hari Ibu)


Teruntuk Ibu tercinta …

            Ibu, kau yang telah melahirkanku ke dunia. Dengan menahan sakitnya dinding-dinding rahim, tanganmu mengerat keras kasur mengatur nafas. Darah-darah berceceran di sarung-sarung yang terhampar. Keringatmu mencucur dari kening hingga akhirnya kau bisa melihatku yang terlahir sempurna dan menghela nafas, kau pun bahagia dan rasa sakit menghambar begitu saja.
            Kemudian kau ajarkan aku berkata “Allah Langgeng”. Hingga akhirnya aku pun bisa mengatakannya. Begitu bahagianya kau ketika mendengar aku berkata “Ibu”. Kau cium, peluk dengan hangatnya kasih dan cinta tiada hari.
            Kehangatan selalu tercipta ketika kau mengajakku bermain, belajar berjalan dengan perlahan penuh kesabaran darimu. Kau basuh lukaku ketika aku terjatuh. Setianya kau menunggu aku dari tengkurep, merangkak, berdiri, berjalan, hingga berlari. Seperti menaruh mimpi-mimpi dalam imaji untuk aku gapai.
            Kemudian umurku kian bertambah, kau ajarkan aku mengaji dan shalat berjamaah. Masih terbayang ketika aku pertama belajar menulis kau pegang tanganku yang kecil dan menggoretkan pena di kertas putihnya. Hingga aku pun bisa menulis dan menggambar. Ketika kura-kura kecil selesai aku gambar, kau begitu tampak bangga terhadap diriku.
            Lalu kau ajarkan pula berpuasa, meski saat itu aku sering berkeluh kesah karena lapar dan haus. Tapi kau tetap meyakinkan aku pasti bisa dan adzan maghrib akan segera tiba.
            Kau ajarkan aku untuk berbusana yang menutupi dada, karena kau bilang “dalam Q.S Al-Ahzab ayat 59, Allah menyuruh kita untuk memakai pakaian hingga menutupi dada”. Ketika aku selalu memakai celana dan tidak mau memakai rok karena aku tomboy dan selalu bermain dengan teman-teman lelaki, dengan sabarnya kau selalau menyuruhku memakai rok dengan rayuan-rayuan yang penuh kasih dan sayang.
            Kelakuan nakalku kau rubah dengan kasih dan cinta. Kau selalu mengajarkan aku untuk hidup sederhana dan menerima apa adanya, karena Allah tidak menilai hamba-hamba dari penampilan atau kekayaannya melainkan dari usaha dan ketakwaannya.
            Kau selalu menyuruhku untuk mengerjakan pekerjaan rumah sampai bersih, karena kebersihan itu sebagian dari iman.
            Ketika aku menangis menjerit menginginkan rumah-rumah boneka dan baju-baju barbie karena tidak dibelikan olehmu kau tetap sabar membuatku untuk tidak menangis. Dan dari sana kau jadi mengajakku untuk membuat baju-baju Barbie dari pakaian bekas, dan mengajarkan aku menjahitnya sendiri dengan jarum tangan. Dari sana baru aku mengerti kau inginkan aku untuk lebih memanfaatkan yang ada dan apa adanya.
            Ketika sore hari tiba, kau mengajak aku untuk mencabut rumput-rumput di pekarangan rumah hingga bersih sambil bermain. Dan kau pun selalu bijak ketika aku berantem dengan teman-teman tanpa membela satu sama lain.
            Dan aku pun beranjak dewasa, kekhawatiranmu pun kian menjadi. Kau selalu menasehati dengan sayangmu. Dan menopang segala keluh kesahku. Tiada henti bara semangat selalu kau berikan untukku.
            Resah dan gelisah menyelimutimu ketika aku terbaring di Rumah Sakit bersama infusan dan tabung oksigen. Kau setia disampingku.
            Kini, dalam peraduanku sembari mengingat wajahmu yang lembut dan selalu bersih dengan air wudhu. Ditengah kerlingan biji-biji tasbih dalam pekatnya malam aku panjatkan doa seperti doa yang telah kau ajarkan kepadaku. Aku meminta kepada Azza Wa Jalla agar senantiasa dilimpahkan kebahagiaan dan keselamatan dalam menyusuri rerimbun waktu ini.
            Ibu… aku meminta maaf akan segala kelakuan yang selama ini membuat air matamu tumpah. Aku menyesal pernah membuatmu kecewa, pernah tidak menuruti pintamu, juga pernah membantah karena marah atau berbeda keinginan akan cita-cita yang ingin aku gapai. Betapa aku telah menyakiti hatimu.
            Ijinkan aku menggapai mimpi-mimpi yang telah aku angankan dalam lintasan-lintasan harapan. Biarkan aku berlari mencari jati diri. Dalam harap, aku ingin membahagiakanmu Ibu. Mimpi-mimpi ini akan aku persembahakan menjadi kado untukmu jika semua telah menjadi kenyataan. Karena apa yang aku inginkan adalah suatu yang ingin aku buat hatimu bahagia dan bangga.
            Berikan restumu untuk aku mudah dalam menjalani terjalnya hidup ini yang harus aku lewati. Karena keridhoan Allah ada dalam keridhoan orang tua. Semoga dengan ridho dan restumu aku dapat menggapai mimpi-mimpi dan cita-cita yang telah kau tanyakan sejak dulu.
            Sekarang, sudah tiba hari Ibu. Aku tidak bisa memberikan kado atau hadiah yang mewah untukmu. Aku hanya ingin membuktikan betapa sayangnya aku kepadamu lebih dari apapun. Kau pelitaku, bintang hati yang selalu membuat damai hidupku, Ibu.
Aku mencintaimu…


 Cianjur, 2011

 LFE



Biodata
Nama Lina Fatinah, duduk dibangku kelas XII Sekolah Menengah Akhir di MAN Cianjur. Lahir 25 mei 1993. tinggal di Kp.Jambudipa 001/003 Kec.Warungkondang Kab.Cianjur 43261. anggota di Komunitas Sastra Cianjur DKC (Dewan Kesenian Cianjur). Hobi menulis, sangat menyukai pelajaran Tekhnologi Informasi Komunikasi. Sedang mendalami dunia Sinematograpi, Fotograpi, sudah membuat beberapa film documenter di Cianjur. Dan akan membuat film bertema kebudayaan untuk dikirim dalam festival film di luar negri. Cerpennya dibukukan dalam antologi cerpen. Beberapa karya tulisan cerpen dan sajaknya dimuat di majalah ISMA Cianjur.